Selasa, 01 Juli 2008

Sebuah Transkrip

Pagi itu aku tergopoh-gopoh membolak balik Book file di dalam lemari. “Kemana transkrip itu, kalo nggak dicari tampak, tapi kalo dicari susahnya minta ampun”; gerutuku dalam hati. Ya, pagi itu aku berencana ingin melegalisir Transkrip untuk suatu keperluan.
Setelah lama mencari, akhirnya transkrip itu aku temukan juga. Selembar kertas ukuran A3 berisi barisan nilai-nilai semasa aku kuliah S1 10 tahun yang lalu. “ Ah... kertasnya udah nampak lusuh kecoklatan. Mengapa juga ya dulu transkrip ini di cetak diatas kertas biasa”. Kembali aku menggerutu setelah menemukan apa yang ku cari.
“Payah ma...” ; kataku kepada Istriku yang kebetulan menghampiri. Sambil duduk, Istriku menjawab :” Ada apa, pagi – pagi kok udah ribut”. “ Ini ma, transkripku ini, baru 10 tahun yang lalu, tetapi kertas sama tulisannya sudah mulai pudar. Kayaknya kertasnya jelek jadi nggak bisa tahan lama”. Masih sambil menyuapi anakku yang paling kecil, kembali istriku menimpali dengan nada santai : “ Ya kalo udah rusak tinggal minta gantinya to”. “Mana bisa ma transkrip diganti, kalo toh bisa itu udah nggak asli lagi. Payah... payah....mau berumur berapa tahun lagi ya transkrip ini? Paling-paling 10 atau 20 tahun lagi mungkin tulisannya udah nggak bisa dibaca lagi”. Kembali aku mengomel sambil memasukkan lembaran transkrip lusuh itu kedalam tas. “ Ya....sepenting apapun, transkrip itu juga nggak akan dibawa mati ...”; ucap istriku sambil ngeloyor pergi.
Deg... jantungku seakan berhenti berdetak mendengar ucapan istriku. Meski tanpa intonasi tetapi kata-kata itu benar-benar telah menghunjam jantungku.
Mau berapa lama lagi umurmu?” Demikian kemudian terngiang pertanyaan didalam hatiku. “Apakah kamu ingin mencetak transkripmu diatas kertas khusus yang dapat tahan sampai 100 bahkan 200 tahun ? Lalu kalo itu terjadi, bermanfaatkah transkripmu itu setelah engkau mati ?” Kembali pertanyaan – pertanyaan meluncur menusuk relung hatiku. “Ah... sungguh bodohnya aku ini”, demikian aku berkata dalam hati. Mengapa aku selalu risau dengan apa-apa yang jelas-jelas akan aku tinggalkan dan tidak bermanfaat kelak di akhirat? Sementara untuk sesuatu yang jelas-jelas menjadi bekal kelak di akherat terkadang tidak pernah terpikirkan.
Terkadang, aku selalu sibuk mengejar dunia, seakan-akan aku tidak akan pernah mati.
Rumah aku bikin bagus, mobil selalu aku rawat dan cuci rutin, sementara doa dan sedekah terkadang terlupakan. Betapa bodohnya.
Ma, mana teh hangatnya?”; kataku sambil menghampiri istriku yang masih sibuk menyiapkan makan bagi anakku yang mau berangkat sekolah. “Kok sudah nggak sewot lagi, udah nemuin cara ya untuk memperbaiki transkripnya yang lusuh ?”; kata istriku sambil tersenyum penuh arti. Aku tersenyum sambil mencium keningnya. “ Tidak ma, tetapi aku sudah menemukan cara untuk mengarungi sisa hidup ini. Mulai saat ini tidak akan pernah lagi aku risau dan takut kehilangan akan sesuatu yang aku miliki, karena semua itu hanya sebuah titipan, dan tidak akan pernah dibawa mati. Dan akupun tidak akan pernah takut kehilangan sesuatu yang belum tentu aku miliki, yaitu harapan – harapan yang masih dalam angan-angan. Mulai saat ini, aku hanya ingin bekerja untuk mencari sebuah keridhoan, aku hanya ingin menafkankan apa yang aku miliki dengan keikhlasan untuk mencari kasih sayangNYA, aku hanya ingin menyayangi dan mendidik anak istriku agar kelak menjadi amal Jariyah buatku, dan aku hanya ingin mencari rizki agar dimudahkan bagiku untuk bisa menolong orang lain”; ucapku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar