Senin, 16 Juni 2008

ADIL


Adil...sebuah kata yang tentunya tidak asing lagi ditelinga kita. Tetapi, di zaman sekarang ini ( zaman yang menurut Raja Joyoboya, dalam jangkanya disebut sebagai Zaman Edan ), bagi sebagian orang, dan mungkin bagi kita kata itu terasa sangat jauh.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Adil berarti : sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak: keputusan hakim itu --; 2 berpihak kpd yg benar; berpegang pd kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang.
Adil menurut bahasa lebih bersifat fisik ( sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak ).

Sedang Adil menurut Agama ( Islam ) adalah :



Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Adil itu lebih dekat kepada Takwa. Menurut Al Ghazali, Takwa dapat dijabarkan sebagai berikut :

Iman adalah Percaya. Keimanan mempunyai lebih dari tujuh puluh bab, yang tertinggi darinya adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, sedangkan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari jalan yg dilalui orang. Sedang dasarnya Iman adalah Ilmu.

Takwa adalah selalu menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala Larangannya. Iman tanpa ketakwaan adalah omong kosong sedang Takwa tanpa Keimanan adalah tidak mungkin.

Iman dan Takwa ibarat Pohon, adalah akar dengan Cabang-cabang pohon. Akar tak akan bertahan tanpa cabang dan tidak ada cabang tanpa adanya akar. Tiada perbedaan antara akar dan cabang kecuali suatu hal, yaitu bahwa keberadaan cabang memerlukan akar, sementara keberadaan akar tidak bergantung pada cabang, namun kekekalan akar hanya terwujud dengan adanya cabang dan keberadaan cabang ialah dengan akar.

Iman adalah Ilmu sedang Takwa adalah Perbuatan.

Jadi, Adil menurut Agama lebih bersifat mendalam, karena Adil bukan saja masalah sama berat atau tidak berat sebelah, tetapi hakekat Adil jauh kepada pertanggung jawaban kepada Tuhan, karena Adil itu lebih dekat kepada Takwa. Dan, sebaik-baik Hakim yang adil adalah Allah.

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quraan itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Mungkin saja di dunia ini penuh dengan ketidak Adilan, tetapi ketidak adilan itu hanya sebatas makna bahasa saja. Sementara, dimata Tuhan, segalanya sudah Dia tetapkan dengan seadil-adilnya. Hanya saja, karena makna Adil menurut makna bahasa hanya sebatas fisik, maka terkadang manusia sulit utk melihat keadilan didalam ketidak adilan itu sendiri.

Seorang petani yang hidup bersahaja hidup serba kekurangan dan kepapaan, sementara seorang Pejabat yg korup bisa hidup berlebihan dan bergelimang kesenangan. Ini tidak adil. Seorang pelajar yang setiap hari belajar bisa tidak lulus ujian, sementara pelajar lain yg tidak pernah belajar bisa lulus ujian, ini tidak adil, dan mungkin banyak lagi hal-hal yg seperti itu di dunia. Apakah itu sesuatu yang tidak Adil ? Menurut makna bahasa mungkin iya, tetapi menurut Tuhan tidak.

Ada sebuah cerita Hikmah yang pernah aku dengar sewaktu aku masih kecil, dan sampai sekarang masih aku ingat.

Suatu hari, Allah memerintahkan Malaikat Pencabut nyawa untuk mencabut nyawa seorang manusia. Manusia itu, semasa hidupnya adalah Ahli Maksiat, artinya semasa hidupnya penuh dengan gelimang dosa, tukang Judi, pezina, pemabuk dan segala predikat yang buruk lainnya. Tetapi pada saat detik-detik sakatul Mautnya, si manusia tadi berdoa dan memohon untuk bisa bertemu dengan Istri tercintanya. Lalu Malaikat menyampaikan hal itu kepada Tuhan, “Ya Tuhan, bagaimana dgn permintaan di fulan tsb? Apakah akan Engkau kabulkan ? Tetapi diluar perkiraan, Tuhan mengabulkan permohonan si ahli maksiat tadi. Kemudian, setelah bertemu dengan Istri tercinta, si ahli maksiat itupun mengajukan permintaan lagi. “ Oh...betapa keringnya kerongkongan ini, ya Tuhan berilah aku segelas Wiski utk menyejukkan kerongkonganku ini”. Malaikatpun menyampaikan lagi hal itu kepada Tuhan, tetapi lagi-lagi Tuhan mengabulkan permintaan itu. Lalu sampailah Ajal manusia ahli maksiat tadi.
Dihari yang lain, Allah memerintahkan Malaikat Pencabut Nyawa untuk mencabut nyawa seorang manusia. Manusia itu, semasa hidupnya adalah Ahli Ibadah, maksudnya semasa hidupnya, manusia itu dihiasi dengan kebaikan-kebaikan, ketaatan kepada Tuhan, berbakti kepada orang lain dan perbuatan baik lainnya. Dalam detik-detik sakaratul mautnya pun, orang Ahli Ibadah tersebut berdoa dan memohon ; “ Ya Tuhan, betapa kering kerongkongan ini, berilah hambamu ini seteguk air putih utk membasuh kerongkongan ini”. Lalu sang Malaikatpun menyampaikan permintaan itu kepada Tuhan. “Ya Tuhan, kasihan benar ahli Ibadah tersebut, dia tampak begitu kehausan, mohon kiranya Engkau kabulkan permintaan yang sederhana itu ya Tuhan. Tetapi lagi-lagi Sang malaikat terheran, ternyata Allah tidak mengabulkan permohonan manusia ahli ibadah tersebut. Dan akhirnya, manusia itu sekarat dan menemui ajal dengan rasa haus yang amat sangat.
Sang malaikat dengan penuh rasa heran lalu bertanya kepada Tuhannya. “Ya Tuhan, mengapa manusia ahli ibadah itu tidak Engkau kabulkan permintaan sederhananya, sementara disaat yang lain, manusia ahli maksiat disaat sekaratnya justru Engkau kabulkan permohonannya?” Kemudian Tuhan bersabda : “ Wahai Malaikatku, Itulah keadilanku. Mengapa Aku kabulkan segala permintaan manusia Ahli maksiat tadi disaat ajalnya? Karena Aku tahu, walaupun manusia itu ahli maksiat, tetapi barang sedikit, walau sebesar biji sawi, baik secara sadar maupun tidak, dia tentu pernah berbuat baik. Perbuatan baiknya itulah, walau sebesar biji sawi aku tebus dengan meluluskan segala permintaannya saat ajalnya, agar kelak di akhirat, tidak ada penghalang lagi bagiku untuk memasukkannya kedalam api Neraka. Sementara bagi si ahli ibadah tadi, walapun semasa hidupnya selalu berbuat baik, tetapi sebagai manusia, dia pasti pernah melalukan salah / dosa walau sebesar biji sawi. Dengan kesalahan/dosa yg hanya sebesar biji sawi itulah aku tebus di dunia dengan tidak Aku kabulkan permintaannya disaat ajalnya, dan kelak di akhirat, tidak ada penghalang lagi bagiku untuk memasukkan dia ke dalam Surgaku. Dan kelak di akherat, tidak ada seorang manusiapun yang akan menggugat keadilanku”.

Itulah keadilan hakiki. Ternyata apa yang tampak dimata kita, tidak selamanya sama dengan yang sebenarnya. Barangkali buruk dimata kita, belum tentu buruk dimata Tuhan. Mungkin kesedihan, kesusahan dan kegagalan kita, barangkali itu lebih baik bagi kita dari pada kebahagian, kemudahan dan keberhasilan kita. Tidak ada yang sia-sia bagi Tuhan. Saat kita ditimpa kemalangan, barangkali itu sebagai air pencuci dosa-dosa kita, tetapi juga barangkali sebagai peringatan bagi kita agar kita tidak jauh tersesat ( ternyata Tuhan masih sayang kepada kita, karena mau mengingatkan ), tetapi bisa juga itu hukuman bagi kita, agar kita mau bertobat untuk tidak mengulangi lagi. Demikian pula saat mendapat kebahagiaan, kesenangan dan kesuksesan, barangkali semua itu hanyalah bayaran tunai Tuhan bagi kita akan kebaikan-kebaikan kita terhadap sesama manusia, sementara aturan-aturan Tuhan yang telah Dia tetapkan yang kita langgar, bayarannya Tuhan tangguhkan kelak di akherat. Semoga kita terhindar dari hal yang demikian itu.

Jadi, jangan pernah menyangkal keadilan, karena, keadilan yang hakiki itu ada, dan, Tuhan adalah Maha Adil. ( @hands )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar